Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

[Malas] Membahas Politik

  • Kamis, 10 Mei 2012
  • ygw-gila
  • Banyak anak muda sekarang gak begitu suka kalau diajak ngobrol tentang politik, katanya sih politik itu kejamlah, politik itu gak gaul lah dibandingkan dengan smash si band boy, politik itu sering membuat orang cepat tua karena selalu mikir trik – trik jitu untuk menjatuhkan lawan atau sekedar bertahan dari serangan lawan. Dan lagi katanya, ngobrol tentang politik sangat menjemukan. Gak tau pendapat kalian bagaimana pula.
    Kalau saya pribadi sih memang tidak bernafsu sekali untuk bicara tentang politik, mungkin alasan yang saya ajukan sama dengan alasan yang diatas sebab politik itu banyak likunya dan banyak pecahannya sehingga membuat kepala pening, mual – mual dan masuk angin karena sewaktu ngebahas politik itu sering lupa waktu dan sering lupa pakai kain sarung. 


    Sering saya melihat dan mendengar bagaimana semangatnya mereka yang sedang berpolitik ria di kantor dewan rakyat juga di warung kopi disekitar tempat tinggal saya. Mereka
    adu suara dan adu argumentasi dengan penuh keyakinan hingga akibat saling beradu tadi tak jarang pula mereka lalu adu jotos sehingga membuat peserta lain menjadi panik dan saling mencela. Itukah hasil dari beradu politik? Bisa dikatakan begitulah hasilnya, namun ada yang lebih mengerikan lagi akibat dari pertikaian politik itu yakni perseteruan berskala besar dan melibatkan banyak orang sehingga tak jarang pula kita dengar dimedia massa bahwa ada jatuh korban jiwa dan ada yang terluka ringan dan berat. Hufft... Tidak salah kalau Bang Iwan Fals sempat bertanya pada bait syairnya “ Apakah selamanya politik itu kejam, apakah selamanya dia datang tuk menghantam, ataukah memang itu yang sudah digariskan, bla...bla...bla..."

    Boleh – boleh saja kita tidak menyukai politik, akan tetapi semua proses dalam kehidupan ini didasari oleh politik yang tidak kita sadari. Langkah politik yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari – hari itu lebih tepatnya disebut dengan akal dan tipu muslihat. Itulah yang sering kita gunakan selama kita hidup guna mempertahan diri, keluarga dan juga lingkungan dari gangguan. Orang yang banyak akalnya tentu juga mempergunakan tipu muslihat sebagai umpan atau solusi agar selamat dalam menjalani kerasnya hidup apalagi jika hidup dikota besar yang disesaki oleh banyak penjambret, tukang peras, perampok dan sejenisnya. Itulah sebuah politik untuk bertahan hidup, untuk menyelamatkan diri juga sebagai modal mengarungi kehidupan diantara orang banyak. Dalam melakukan aktivitas blogging juga kita sering memepergunakan politik seperti bagaimana cara menaikkan traffick pengunjung dengan cepat, bagaimana menaikkan rangking Alexa dan sebagainya.

    Lain halnya dengan jalan politik diparpol atau di negara, karena statusnya sudah mewakili sesuatu maka gaungnya pun sudah beda dengan apa yang kita lakukan dalam mempertahankan hidup ( biasanya gaungnya sampai ke pelosok dan lembah - lembah lho...). Langkah politik yang dilakukan oleh parpol dan negara lebih bersifat kelompok dimana setiap anggotanya berkepentingan untuk saling menjaga anggotanya yang lain karena akan mempengaruhi nama parpol yang menaunginya sehingga tidak heran jika dimedia massa kita lihat si A sudah jelas salah, namun kawannya si B berusaha untuk menyamarkan kesalahan itu dengan kalimat yang mendangkalkan tuduhan terhadap si A sehingga nama parpol tetap terjaga dengan baik. Pokoknya banyak cara yang dilakukan oleh anggota parpol untuk menyelamatkan pamor parpolnya dimata masyarakat entah itu dengan cara wajar, tidak wajar atau bahkan secara abnormal. Kejadian – kejadian seperti inilah yang memungkinkan kita merasa jemu dan tidak respek terhadap sesuatu yang barbau politik, karena kita sudah mampu menilai bahwa dengan langkah politik si B telah mengingkari arti sebuah kebenaran.

    Semua terserah pada kita menilai politik itu seperti apa, perlu atau tidak kita mempelajarinya dan menjadikan politik itu sebagai senjata, atau mengucapkan see u any way pada politik. Karena kita sudah cerdas dalam memberi penilaian sesuai dengan mata hati yang kita miliki. Apabila dikemudian hari bola politik itu berada digenggaman kita, hendaklah berlaku bijaksana dan tetap menjalankannya secara sehat demi terwujutnya ketentraman dalam bermasyarakat.  Semoga....!!
    Bagaimanakah politik itu dalam pandangan sahabat...??

    Politisi : citra parpol makin buruk

  • ygw-gila

  • Mitra-Solusindo.com , Jakarta - Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Golkar Indra J Pilliang menilai, pada era reformasi saat ini citra partai politik yang diharapkan masyarakat semakin baik, justru semakin memburuk.

    Semakin memburuknya citra partai politik karena perilaku elitenya, berdampak pada semakin menurunnya kepercayaan masyarakat," kata Indra J Pilliang, pada diskusi "Parpol Menuju Titik Nadir" yang diselenggarakan sebuah radio swasta, di Jakarta, Sabtu.

    Pembicara lainnya pada diskusi itu adalah, Ketua DPP Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin, Peneliti CSIS Philips Vermote, dan Pengamat Sosial Mudji Sutrisno.

    Menurut Indra, sebagian masyarakat Indonesia mendukung perubahan sistem politik dari orde baru menjadi orde reformasi dengan harapan akan terbentuk sistem dan tatanan politik yang lebih baik.

    Namun realitasnya, kata dia, setelah 12 tahun berlangsungnya era reformasi sistem dan tatanan politik relatif sama, bahkan citra partai politik semakin memburuk.

    "Pada era orde baru, meskipun dinilai otoriter tapi sistem dan tatanan politik maupun partai politik kondusif," katanya.

    Indra menambahkan, pada pelaksanaan pemilu di era reformasi, ada partai politik yang baik tapi malah tergusur karena tidak memenuhi persyaratan "parliamentary threshold" atau ambang batas perolehan kursi di parlemen.

    Ia mencontohkan, Partai Bulan Bintang (PBB) yang mendapat 12 kursi di DPR RI pada pemilu 2009 malah tergusur karena tidak memenuhi persyaratan "parliamentary threshold" sebesar 2,5 persen.

    "Padahal, PBB memiliki tokoh berkarakter serta kader ideologi," katanya.

    Indra juga menilai, partai politik yang lebih banyak dipilih masyarakat adalah yang memiliki platform nasionalis daripada partai politik yang berbasis agama.

    Pengamat Sosial Mudji Sutrisno menambahkan, situasi politik yang terjadi saat ini lebih banyak didasarkan pada kompromi elite politik yang berada di partai politik.

    "Elite partai politik sangat menentukan konstelasi politik yang berkembang," katanya.
    (T.R024/Z002)

    Integritas Akhlak dan Politik

  • ygw-gila


  • SEWAKTU saya studi di Jakarta, ada seorang anak anggota DPR yang tidak mau sekolah lagi karena kerap diejek oleh teman-temannya. Dalam imej teman-temannya, orang tua si anak itu adalah orang tidak benar, suka korupsi dan makan uang haram. Meski tuduhan tersebut belum tentu benar, tetapi imej anak-anak itu telah terbentuk sedemikian rupa karena gencarnya pemberitaan seputar beberapa oknum yang bertugas di lembaga terhormat itu terindikasi melakukan korupsi dalam jabatannya.

    Ini satu contoh bahwa sebagian masayarakat awam cenderung berimej, politik itu kotor, ajang tipu muslihat, penuh kepura-puraan, kebohongan, manipulasi, basa basi dan ketidakjujuran. Berbagai sifat jelek lainnya pun seolah-olah menjadi “asam-garam”-nya dunia politik. Di dalamnya seakan tidak ada ketulusan dan kesejatian, yang ada hanyalah kepentingan.

    Karena itu, ada sebuah adagium bahwa “dalam politik tidak ada kawan dan lawan sejati, yang abadi hanyalah kepentingan”. Ketika kepentingannya sama, mereka berkawan, tetapi ketika kepentingannya berbeda mereka pun berlawanan. Kalau dikatakan demikian, maka dunia politik adalah dunia gersang, jauh dari nilai-nilai agama. Dengan begitu, tidak ada lagi tempat bagi ulama, ustaz, dan orang shalih lainnya masuk ke dalamnya, alias mereka harus menjauhinya.

    Pernyataan dan persepsi di atas memang kerap terdengar. Bahkan, yang memprihatinkan lagi adalah bilamana pandangan seperti itu banyak dianut oleh para politisi kita. Jadi, dapat dibayangkan betapa bahayanya masa depan perpolitikan itu, sebab orang-orang pada berpikir bahwa dalam politik berperilaku kotor dianggap lazim dan sah-sah saja. Bisa jadi orang yang jujur, shalih, lurus dan santun pun dalam berpolitik malah dianggap aneh, lugu, kampungan, bodoh dan ketinggalan zaman.

     Politik akal-akalan
    Apa memang demikian adanya? Bila ya, alangkah jahatnya kehidupan di dunia politik. Tidak ada lagikah peran akhlak dan sikap mental agama di dalamnya? Semua cara dihalalkan untuk mencapai tujuan dan kekuasaan. Penipuan, kepura-puraan, ketidakjujuran, dan siasat kotor seperti intimidasi, manipulasi, suap, bertindak curang dan sejenisnya dianggap sebagai hal yang lumrah. Inilah yang disebut bahwa politik itu akal-akalan.

    Sebenarnya pandangan tersebut bermula dari paham sekuler yang berupaya memisahkan antara akhlak agamis dengan politik. Agama ditinggalkan di masjid-masjid, meunasah, mushalla atau di surau. Nilai-nilai dan ajaran agama tidak ada dalam arena politik. Bidang politik adalah sisi kehidupan yang sama sekali sekuler, sedangkan agama adalah urusan kerohanian, soal akhirat atau pahala dan dosa. Politik tidak ada urusannya dengan pahala dan dosa, surga atau neraka, bahkan tidak ada hubungan dengan baik dan buruk. Politik adalah sebuah ajang persaingan bebas nilai yang sepenuhnya urusan duniawi, dipandang hanya sebagai arena perebutan kekuasaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan akhlak agama.

    Ajaran Islam tidak mengenal adanya pengkotak-kotakan antara agama dan politik, tidak ada pembatasan ruang dan waktu dari ajarannya, ia bisa dihadirkan dalam segala bidang kehidupan umat manusia. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara utuh dan menyeluruh, termasuk mengatur persoalan politik. Ajaran Islam harus senantiasa memberikan tuntunan dalam segala aspek kehidupan manusia.

    Politik adalah ikhtiar yang dipandang sebagai kewajiban umat Islam. Ikhtiar untuk menemukan cara hidup yang secara total menawarkan landasan akhlak dan etis bagi pemecahan semua masalah kehidupan. Islam adalah agama dunia dan daulah negara politik. Islam adalah sistem keyakinan dan sistem syari’ah serta agama sempurna yang didesain Allah untuk kebaikan manusia sampai akhir zaman dan juga kebaikan hidup akhirat.

     Risalah universal
    Karena itu, tuntunannya dalam berpolitik pasti tetap dan akan selalu relevan dalam setiap zaman dan tempat. Islam merupakan risalah universal untuk semua manusia. Ketentuan Allah ini sudah final dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Islam pun menawarkan landasan moral dan melarang untuk mengahalalkan cara politik kotor.

    Dalam lapangan kehidupan apa pun, akhlak Islami harus menjadi acuan. Islam mestinya selalu hadir menjadi nafas dari seluruh aspek aktivitas kehidupan manusia. Kecurangan, penipuan, suap, dusta dan yang sejenisnya terlarang, termasuk dalam dunia politik. Setiap Muslim harus mempraktikkan akhlak mulia dalam seluruh aspek kehidupannya.

    Tidak ada kamusnya bahwa dalam politik orang dihalalkan menempuh segala cara yang tidak terpuji dan tidak sesuai dengan akhlak mulia. Inilah sebabnya beberapa partai politik memasukkan “akhlak” sebagai garis perjuangannya. Agama dan politik harus seiring sejalan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kehidupan politik tanpa akhlak, yang berarti sama dengan tidak beradab.

    Orang Muslim yang memilih politik sebagai lapangan perjuangannya harus menegakkan nilai-nilai akhlak Islam, paling kurang dengan tiga cara yaitu: Pertama, ia tidak sampai larut dalam paham masyarakat sekuler yang berpandangan bahwa dalam politik orang boleh bertindak apa maunya tanpa mempedulikan agama yang dianutnya. Kedua, menegakkan akhlak mulia dengan strategi mengubah pandangan keliru yang dilakukan dengan lisan atau dengan harta, atau dengan memberi suri tauladan. Ketiga, seorang Muslim yang menggeluti dunia politik berjuang untuk amar ma’ruf nahi munkar, mengajak melakukan yang baik dan memberantas kemungkaran.

     Penting direnungkan
    Dari segi ini adalah sebuah kebaikan bilamana ulama, ustaz, guru agama atau pemangku pesantren berkiprah dalam dunia politik, selama mereka mempunyai potensi untuk mewarnai lembaganya. Bukan malah menjadi sosok yang diwarnai, terlebih sampai-sampai melahirkan gelar baru dengan sebutan “mantan ustaz”. Na’uzubillah. Perpolitikan adalah suatu wadah perjuangan yang tidak mungkin diabaikan oleh pemuka agama, karena dari lembaga ini aspirasi dapat disampaikan.

    Politik yang berorientasi pada amar ma’ruf nahy munkar inilah yang penting direnungkan untuk diwujudkan oleh para politisi di masa-masa mendatang. Tugas politisi dan semua kalangan umat beragama adalah memberi warna yang bernuansa agama agar perpolitikan tidak dijadikan sebagai panggung sandiwara, tetapi diarahkan untuk menentukan pemimpin yang dapat menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan.***

    Apakah Fungsi Partai Politik

  • ygw-gila


  • Apakah Fungsi Partai Politik –  Beberapa fungsi dari partai politik silahkan simak artikel saya berikut ini

    Fungsi partai politik itu terbagi kedalam 4 fungsi yakni:
    Pertama: sebagai sarana komunikasi politik, dalam hal ini partai politik merumuskan usulan-usulan kebijakan berdasarkan keinginan rakyat. Kemudian rumusan tersebut diserahkan kepada pemerintah agar dapat dijadikan sebagai sebuah kebijakan.
    Kedua: sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik. Partai politik berkewajiban untuk mensosialisasikan program plotiknya kepada masyarakat.
    Ketiga: sebagai sarana rekrutment politik, dimana partai politik berkewajiban untuk melakukan seleksi dan rekruitment dalam rangka mengisi posisi dan jabatan politik tertentu.
    Keempat: sebagai sarana peredam dan pengatur konflik. Dengan fungsinya sebagai penyerap keinginan atau aspirasi masyarakat, maka partai politik harus peka terhadap tanggapan kemungkinan konflik yang ada dalam masyarakat.
    Jika keempat fungsi ini berjalan dengan baik sebagaimana mestinya, maka kekhawatiran akan munculnya konflik dan perpecahan akibat banyaknya jumlah partai politik akan bisa dihindari.
    Okkk semoga artikel Apakah Fungsi Partai Politik ini dapat menberikan manfaat. [

    Memanusiakan Koruptor

  • ygw-gila

  • Published on Januari 4, 2012 by   ·   0 Komentar
    korup
    Sunan Gunung Djati-Para koruptor yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah tak terhitung jumlahnya. Wajah dan identitas lengkap mereka sering tampil sebagai pemberitaan utama media massa. Demikian juga, sudah amat banyak terpidana korupsi dijebloskan ke penjara. Selama persidangan pun media massa memberikan sorotan intensif. Kejadian itu terus berulang sampai saat ini, namun semua itu menjadi ritual rutin yang tidak bisa memberikan efek jera. Para koruptor bagaikan memiliki watak tidak mengenal rasa malu dan rasa bersalah.
    Tak memiliki rasa malu dan bersalah itu tak ada bedanya dengan sifat binatang, karena seluruh perilakunya tak dikendalikan dengan keimanan dan akal sehat. Lalu hukuman apakah yang dapat memanusiakan koruptor itu? Pidana mati, kemungkinan besar, sangat cocok. Jika dikaitkan dengan pertimbangan kemanusiaan, maka hukuman itu tidak relevan dilakukan karena terdapat pemahaman mendalam bahwa urusan hidup dan mati berada di tangan Tuhan.
    Usulan yang lebih sesuai dengan rasa kemanusiaan bergulir dalam Konferensi Tahunan Advokat Internasional, International Bar Association (IBA) Annual Conference 2011, di Dubai, Uni Emirat Arab. Kegiatan itu membahas gerakan bersama memerangi penyuapan, korupsi, dan pencucian uang. Advokat sedunia pun membangun kesadaran bahwa korupsi sangat menyengsarakan rakyat. Hoyer E Mayer, Wakil Ketua Komisi Antikorupsi IBA, menyatakan sanksi apa pun bagi pelaku korupsi harus gencar dipublikasikan sehingga lebih banyak orang yang mengetahuinya. Hal ini akan memberikan efek malu bagi pelakunya (Kompas, 07/11/11).
    Hukuman yang memberikan rasa malu kepada pelaku korupsi harus dicoba. Publikasi gencar adalah salah satu mekanisme. Tidak dalam bentuk pemberitaan kolosal saat koruptor diadili karena dalam situasi itu, koruptor dapat berlaku sebagai pihak teraniaya. Sekian bukti bisa disodorkan. Sekian banyak pembela juga dihadirkan.
    Usulan menarik untuk mempermalukan koruptor dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yaitu membuat “kebun” bagi koruptor seperti layaknya kebun binatang. Kebun ini didirikan di 33 provinsi. Mahfud mengakui gagasannya dapat disebut gila. Namun ia berdalih bahwa koruptor tidak lebih sebagaimana halnya binatang. Publik nantinya bisa menyaksikan kebinatangan pelaku korupsi di kebun koruptor. Melalui cara ini rasa malu dimunculkan sehingga ada efek jera (www.antaranews.com, 27/11/11).
    Gagasan itu secara sekilas memang kontroversial, tapi layak dipertimbangkan. Tidak ada alasan kemanusiaan yang dilanggar mengingat yang dilakukan sekadar memamerkan kebinatangan koruptor. Justru, aspek penyampaian pesannya lebih efektif. Dalam perspektif komunikasi, pesan efektif adalah impresi yang mudah diingat secara kognitif, menimbulkan kesan mendalam dari sisi afektif (sikap), dan menghadirkan perubahan perilaku yang signifikan. Itulah yang disebut efek jera dengan memberikan perasaan malu sehingga yang menyaksikannya tak berani menirunya.
    Mempermalukan pelaku kejahatan sebenarnya bukanlah usulan baru. John Braithwaite, ahli kriminologi dari Australia dalam buku Crime, Shame, and Reintergation (1999) mengemukakan pandangannya tentang bagaimana tindakan mempermalukan dapat digunakan mengontrol perilaku masyarakat. Mempermalukan dalam kaitan ini merujuk pada penghunjaman perasaan bersalah bagi penjahat. Terdapat dua tipe untuk mempermalukan penjahat.
    Pertama, disintegratif. Dalam domain ini, penjahat dihukum melalui stigmatisasi, yakni ditolak atau disingkirkan dari masyarakat. Teknik ini cocok dalam masyarakat yang memiliki relasi sosial yang lemah. Kedua, reintegratif, yaitu memperlakukan lebih positif, dengan cara memberi pemahaman, pengampunan, dan bahkan penghormatan. Hal yang amat dibenci adalah perbuatannya yang berdosa, sementara si pendosa tetap dicintai. Metode ini cocok dilakukan pada situasi masyarakat yang memiliki relasi sosial kuat.
    Hukuman dengan teknik mempermalukan yang dikemukakan Braithwaite dapat diterapkan terhadap koruptor di Indonesia. Hanya saja terdapat catatan tersendiri. Sekali pun ikatan sosial dalam masyarakat kita cukup kuat, pelaku korupsi pantas mendapat hukuman dipermalukan yang bersifat disintegratif. Jika hanya memberi pemahaman, pengampunan, atau penghormatan, mereka tidak akan pernah merasa malu dan bersalah.
    Bagi mereka, korupsi telah menjadi agenda yang harus dijalankan. Dalam situasi demikian, memberikan stigma (label paling buruk) –entah sebagai pengkhianat rakyat atau pembunuh kemaslahatan umat– dan bahkan dikerangkeng layaknya binatang untuk dipertontonkan, pantas digulirkan agar timbul kesadaran bahwa mereka memang manusia yang meiliki iman dan akal sehat.
    ACEP HERMAWAN, Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung Direktur Eksekutif Najah Islamic Center Bandung

    POLITIK ISLAM

  • ygw-gila

  • Saat ini, jika ada orang bicara politik, pasti selalu saja dikait-kaitkan dengan jabatan, kekuasaan, dan uang. Nampaknya, makna politik menurut kacamata masyarakat dewasa ini tidak bergeser dari ketiga hal tersebut. Pemahaman masyarakat menjadi seperti ini merupakan sebuah akibat dari perilaku para pelaku politik itu sendiri. Sepak terjang para pemain politik dari mulai masa kampanye sampai ketika sudah menduduki jabatan atau kekuasaan, yang setiap saat dapat selalu ditonton oleh masyarakat luas, sarat dengan aspek kekuasaan, jabatan dan uang. Sedikit sekali –untuk tidak mengatakan tidak ada— perilaku-perilaku mereka yang lebih menonjolkan aspek moral dan keadilan.

    Hal itu bisa dilihat dari perilaku-pelaku politik menjelang masa pemilihan. Hampir semuanya, selain menawarkan janji-janjinya yang belum tentu ditepati, mereka juga tidak lupa menggunakan senjata politik uang (money politik). Menurut logika, siapa pun yang berinvestasi, pasti menginginkan keuntungan. Demikian pula jika seseorang dalam usahanya mendapatkan jabatan itu ia telah mengeluarkan dana yang tidak kecil, maka ketika ia sudah berhasil memperoleh jabatan itu, hampir bisa dipastikan ia akan berupaya sekuat tenaga mengembalikan dana yang telah diinvestasikan, meski harus dengan cara-cara yang tidak benar sekalipun.
    Kesan negatif terhadap institusi politik saat ini memang cukup beralasan. Dari sekian banyak partai politik, jarang sekali diketemukan partai yang betul-betul bisa dikatakan menepati janji-janji yang diumbar pada masa kampanye. Rata-rata politisi yang sudah aman duduk di dewan menjadi lupa terhadap konstituennya, lupa akan janji-janjinya, lupa pulang ke daerah pemilihnya, dan lupa membalas jasa terhadap orang-orang yang dulu telah mencoblosnya.
    Politik Dalam Perspektif Islam
    Pemaknaan politik menurut definisi yang sebenarnya adalah sebuah pengaturan dan pemeliharaan urusan ummat. Hal ini cocok sekali dengan arti kata “politik” yang dalam Bahasa Arab disebut “as siyasah”. Kata siyasah berasal dari kata saasa-yasuusu-siyasatan yang berarti mengurus atau mengatur kepentingan orang.
    Untuk mengurus atau mengatur urusan umat tersebut, praktis dibutuhkan satu institusi yang memiliki kewenangan luas dan meliputi seluruh sisi kehidupan, baik itu masalah ekonomi, pemerintahan, politik dalam dan luar negeri, masalah hukum dan perundang-undangan, pertahanan dan sosial budaya, pendidikan dan lain-lain. Dan satu-satunya institusi yang berwenang secara luas dan berkedaulatan penuh adalah negara atau daulah atau khilafah.
    Dari definisi di atas, berbicara politik tidak bisa dilepaskan dengan negara dan pemerintahan. Berbicara masalah hukum dan perundang-undangan, tidak bisa lepas dari kekuasaan politik dan pemerintahan. Alhasil, politik dan Islam adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Bicara Islam secara kaaffah, maka harus menyinggung masalah politik. Dan bicara politik, maka pasti tidak bisa lepas dari pandangan politik Islam. Fakta sejarah kehidupan umat Islam sejak dari dulu, menunjukkan bahwa Islam dan kaum muslimin tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik.
    Peristiwa Hijarah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah selain dipahami sebagai peristiwa keagamaan, juga merupakan peristiwa politik dalam rangka membangun masyarakat dan pemerintah kota Madinah yang damai, tentram, tenang, adil dan makmur. Peran Baginda Nabi Muhammad SAW waktu itu, selain sebagai seorang Nabi, beliau juga sebagai seorang kepala negara.
    Islam adalah meliputi akidah dan syariat, ad Diin wad Daulah. Hal itu sangat berbeda dengan agama-agama lain, seperti Kristen, Yahudi, Budha, Hindu. Karena agama-agama tersebut hanya memuat tuntunan-tuntunan moral saja, tetapi tidak mengajarkan sistem politik, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem pemerintahan dan sistem sosial. Sehingga wajar jika kemudian pelibatan agama tersebut dalam kehidupan politik dan pemerintahan akan menyebabkan pemerkosaan dan penodaan terhadap agama. Karena pada dasamya yang membuat aturan tersebut bukanlah Tuhan, tetapi akal dan nafsu manusia.
    Tetapi sangat berbeda dengan Islam yang bersifat syamil dan kamil, yaitu bersifat menyeluruh, tidak memiliki cacat sedikit pun, mengatur seluruh sisi kehidupan manusia dari kehidupan individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Dari urusan yang paling kecil seperti makan, tidur dan lain-lain sampai yang paling besar, seperti politik, hukum, ekonomi dan lain-lain. Allah SWT. berfirman:
    الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
    نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ دِينًا
    “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3).
    Dalam ayat lain Allah juga menegaskan:
    وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
    “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl: 89).
    Lafadz “syaiin” (segala sesuatu) mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Tidak ada satu pun yang lepas dari aturan Allah SWT. Oleh karenaya, prinsip-prinsip paham Sekulerisme yang memisahkan antara urusan agama Islam dengan dunia jelas sekali bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
    Agama Islam bisa tegak dan eksis sebagai agama sekaligus sebagai sistem ideologi jika ditegakkan dan dijaga oleh eksistensi sebuah negara atau kekuasaan. Beberapa syariat atau aturan Islam tidak akan dapat dilaksanakan kecuali jika adanya kekuasaan negara atau sistem. Misalnya sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem politik luar negeri dan dalam negeri, atau sistem hukum. Contoh yang paling aktual adalah gagalnya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) untuk disahkan, karena lemahnya kekuatan Islam yang mendukung RUU tersebut di beberapa lembaga negara.
    Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Harus diketahui bahwa wilayah (perwalian atau pemerintahan) urusan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak ada artinya penegakan agama dan dunia tanpa perwalian/pemerintahan ini. Kemaslahatan Bani Adam tidak akan berjalan secara sempuma kecuali dengan membentuk komunitas, karena sebagian di antara mereka pasti membutuhkan sebagian yang lain. Dalam komunitas itu dibutuhkan seorang pemimpin. Hingga beliau SAW bersabda, ‘Jika ada tiga orang yang bepergian dalam perjalanan, hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.” (Lihat Kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah).
    Imam AI-Ghozali juga menegaskan, “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempuma kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama merupakan dasar dan sultan atau imam merupakan penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki dasar pasti akan binasa dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan mudah sirna. Kekuaaaan dan penerapannya tidak akan menjadi sempurna kecuali adanya sultan atau imam.” (Lihat Ihya Ulumiddin, 1:71).
    Sikap yang mengeneralisir semua agama sama, baik Kristen, Islam, Hindu dan Budha adalah suatu tindakan yang sangat bodoh. Doktrin pemisahan agama terhadap kehidupan, terutama politik dan pemerintahan, akan sangat tepat jika hal jtu diterapkan untuk agama selain Islam. Karena memang agama-agama lain, seperti Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu tidaklah mempunyai konsep aturan hidup, baik konsep pemerintahan, politik, ekonomi dan moneter, sosial-budaya, keluarga, politik luar negeri atau konsep hukum.
    Mencari Ridla Allah, Bukan Mencari Kekuasaan
    Kalau politik atau siyasah itu artinya memelihara urusan ummat, maka para pelaku politik Islam hendaknya harus berani merubah paradigma politiknya, bahwa tujuan berpolitik adalah untuk mengatur, mengurus dan memelihara urusan ummat, yang semuanya bermuara pada satu titik, yaitu untuk mencari ridla Allah (libtighai mardlatillah). Bukan sebaliknya, untuk semata-mata mencari jabatan, uang dan kekuasaan.

    Apatisme Rakyat dan Politik Uang Dalam Pemilukada

  • ygw-gila

  • Apatisme Rakyat dan Politik Uang Dalam Pemilukada : ada enam Kabupaten Kota di Provinsi lampung yang tengah mempersiapkan pesta demokrasi. Kini proses dan atau tahapan di KPUD sudah berjalan dan para kandidat sudah berikrar untuk melaksanakan Pemilukada damai.

    Suka tidak suka tapi ini Harus diakui bahwa kenyataan di lapangan ada beberapa pergeseran penting dalam pandangan masyarakat terhadap proses-proses politik yang sesungguhnya sangat terbuka bagi mereka. Katakanlah fragmatisme yang semakin meningkat sejalan dengan belum membaiknya kesejahteraan masyarakat.

    Demikian pula adanya apatisme yang tumbuh mengiringi krisis kepercayaan terhadap perilaku politik elite yang akhir-akhir ini banyak dinodai berbagai bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal yang demikian, harus diakui tentu bukan kondisi yang ideal bagi terciptanya kehidupan politik dan demokrasi.


    Indikasi tumbuhnya fragmatisme dan apatisme politik di masyarakat adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik itu sendiri. Paling tidak itu dapat dilihat dari semakin menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat.

    Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau masyarakat dalam mencari figur pemimpin baru, masih saja terjebak pada kecenderungan yang serba instan. Hal ini ditandai atau dibuktikan dengan perilaku fragmatisme politik.

    Dalam konteks itulah, maka benar bahwa ketergantungan terhadap negara semakin memudar. Ironisnya, memudarnya ketergantungan itu berubah menjadi hilangnya kepercayaan akibat degradasi kinerja dan moralitas politik yang ditunjukkan para elite.

    Asumsi itu dapat dipahami bahwa beralihnya pilihan masyarakat pada tokoh populer yang tidak mempertimbangkan aspek kepemimpinan dan kepiawaian dalam politik, hanya menjadi dampak dari apatisme masyarakat terhadap proses-proses politik dan penyelenggaraan negara oleh para elite politik dan birokrasi. Maka tak heran, pemimpin yang muncul hanya menghadirkan figur yang tidak visioner (disorientasi).

    Karena itu, mereka yang menjadi tokoh, baik di lingkungan pemerintah, organisasi sosial maupun politik, harus benar-benar membuktikan kontribusi nyatanya dalam pembangunan sektor-sektor penting dalam kehidupan sosial masyarakat.

    Suka atau tidak suka, ancaman terbesar bagi perkembangan demokrasi adalah munculnya praktik politik uang. Akibatnya, pemimpin yang terpilih hanya akan melayani para pembayar dan mengorbankan kepentingan umum.

    Di samping itu, praktik politik uang juga akan menghasilkan demokrasi semu yang mengkhianati kepercayaan publik dan merusak cita-cita demokrasi. Maka tidak heran kalau akhir-akhir ini bermunculan pemimpin yang tidak memenuhi kapasitas dan integritas.

    Fakta ini, dipertegas dengan hadirnya figur artis di kancah pemilukada. Kalau kondisi ini terus dibiarkan, maka Indonesia hanya mampu melahirkan pemimpin yang tidak bermutu.

    Demikian pula, krisis kepercayaan terhadap perilaku politik pemerintah yang akhir-akhir ini banyak dinodai berbagai bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal yang demikian tentu tidak dalam kondisi yang ideal bagi terciptanya kehidupan politik yang demokratis.

    Padahal, demokrasi tumbuh dan mewarnai sistem politik di negeri ini secara teknis, namun tidak memberi dampak balik berupa edukasi terhadap cara pandang dan perilaku politik dimasyarakat. Akhirnya, demokrasi hanya menjadi tren kekinian yang dalam praktiknya tidak sejalan dengan proses rasionalisasi dan pendewasaan politik, baik tingkat elite pemerintahan maupun masyarakat.

    Oleh karena itu, di alam demokrasi Indonesia membangun institusi adalah merupakan langkah yang sangat penting. Sebab bagaimanapun, para pemimpin bisa datang dan pergi, tetapi sistem harus tetap eksis dan berjalan. Seperti kata Logeman, pemangku jabatan datang silih berganti, karena yang abadi hanya jabatan itu sendiri.
    Referensi : http://metronews.fajar.co.idtag, Hasil Penghitungan suara, quik count,pemilukada,bandar lampung,kabupaten pesawara, lampung selatan,kota bandar lampung, metro, kabupaten waykanan,lampung timur, lampung tengah,hasil penghitungan suara pemilukada kalimantan barat,medan,binjai,sumatra barat, kepri,bengkulu, palembang,blitar,ngawi,sleman,manado,sulawesi,jawa timur,surabaya,pacitan,Money Politic,

    (c) Copyright 2010 politik. Blogger template by Bloggermint